BAB III
ANALISA PENYAJIAN DATA
A.
Teknologi Dalam Perkembangan Menurut Al-Qur’an
Sejarah teknologi sejak ribuan tahun
silam sulit diungkapkan karena terbatasnya informasi yang menunjang. Salah satu
sumber yang dapat dipedomani al-qur’an (Q.S Al-baqarah[2]:31-32):
zN¯=tæurtPy#uäuä!$oÿôF{$#$yg¯=ä.§NèOöNåkyÎztän?tãÏps3Í´¯»n=yJø9$#tA$s)sùÎTqä«Î6/Rr&Ïä!$yJór'Î/ÏäIwàs¯»ydbÎ)öNçFZä.tûüÏ%Ï»|¹ÇÌÊÈ(#qä9$s%y7oY»ysö6ßwzNù=Ïæ!$uZs9wÎ)$tB!$oYtFôJ¯=tã(y7¨RÎ)|MRr&ãLìÎ=yèø9$#ÞOÅ3ptø:$#ÇÌËÈ
“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman; Sebutkan kepadaku
nama-nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar. Mereka
menjawab; Maha suci engkau, tidak ada kami ketahui selain dari yang telah engkau ajarkan kepada kami,
sesungguhnya engkaulah yang maha mengetahui lagi maha bijaksana (Q.QS Al-baqarah[2]:31-32)
Tenyata
sesuai dengan ayat ini manusia mempunyai pengetahuan lebih luas dari pada
malaikat dan adam, dan mereka benar-benar sudah mengetahui bentuk segala
sesuatu yang hidup dan yang mati dan interaksinya pada waktu hidupnya nabi
pertama itu sampai keturunan terakhir, yaitu kita yang hidup hari ini. Suatu
kewajiban kita sebagai umat adam untuk terus menggali teknologi untuk dapat di
gunakan meningkatkan kualitas kehidupan dan kemaslahatan umat manusia.
Dunia tanpa batas (world bourderless)
saat ini mengisyaratkan umat islam harus peka dan tanggap terhadap isu-isu
aktual dan faktual yang berlangsung hari ini. Kemajuan sains dan teknologi yang
begitu cepat perlu di selaraskan dengan pemahaman agama dan di sesuaikan dengan
nilai sosial dan budaya yang ada.
B.
Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Dalam Pandangtan Islam
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
merupakan salah satu faktor penunjang kemajuan Sumber Daya Manusia (SDM),
karena dengan adanya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi suatu negara bisa bersaing
dan disetarakan dengan negara-negara lain. Setiap manusia diberikan ilmu
pengetahuan oleh Allah SWT, agar menjadi orang berkualitas yang dapat
menjunjung tinggi derajatnya. Maka dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
manusia akan lebih bermanfaat, baik untuk dirinya maupun untuk masyarakat. Akan
tetapi, semua itu tergantung kemampuan yang timbul dari orang itu sendiri.
1. Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Sebelum memaparkan ilmu pengetahuan dan
teknologi, perlu diketahui sekilas tentang perbedaan antara pengetahuan dan
ilmu agar tidak terjebak pada kesalahpahaman mengenai keduanya, sehingga bisa
memahami dengan mudah dan benar apa yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem,
dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Ilmu menurut
Al-Qur’an adalah rangkaian keterangan yang bersumber dari Allah yang diberikan
kepada manusia baik melalui Rasulnya atau langsung kepada manusia yang
menghendakinya tentang alam semesta sebagai ciptaan Allah yang bergantung
menurut ketentuan dan kepastian-Nya.
Sementara itu, pengetahuan adalah
keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun
fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common
sense, sedangkan ilmu sudah merupakan bagian yang lebih tinggi dari itu
karena memiliki metode dan mekanisme tertentu. Jadi ilmu lebih khusus daripada
pengetahuan, tetapi tidak berarti semua ilmu adalah pengetahuan. Menurut
Sutrisno Hadi, ilmu kumpulan dari pengalaman-pengalaman dan
pengetahuan-pengetahuan dari sejumlah orang-orang yang dipadukan secara
harmonis dalam suatu bangunan yang teratur. Sedangkan teknologi adalah
kemampuan teknik yang berlandaskan pengetahuan ilmu eksakta dan berdasarkan
proses teknis.
2. IPTEK
dilihat dari pandangan Islam
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menurut
pandangan Al-Qur’an mengundang kita untuk menengok sekian banyak ayat
Al-Qur’an yang berbicara tentang alam raya. Menurut ulama terdapat 750 ayat
Al-Qur’an yang menjelaskan tentang alam beserta fenomenanya dan memerintahkan
manusia untuk mengetahui dan memanfaatkannya. Allah SWT berfirman dalam QS
Al-Baqarah ayat 31 yang artinya :“Dan dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda)
semuanya, kemudian diperintahkan kepada malaikat-malaikat, seraya berfirman
“Sebutkan kepadaku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar”. Dari ayat di
atas yang dimaksud nama-nama adalah sifat, ciri, dan hukum sesuatu. Ini berarti
manusia berpotensi mengetahui rahasia alam semesta. Adanya potensi tersebut,
dan tersedianya lahan yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan alam untuk
membangkang pada perintah dan hukum-hukum Tuhan, menjadikan ilmuwan dapat
memperoleh kepastian mengenai hukum-hukum alam. Karenanya, semua itu
menghantarkan pada manusia berpotensi untuk memanfaatkan alam itu merupakan
buah dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk
terus berupaya meningkatkan kemampuan ilmiahnya. Jangankan manusia biasa, Rasul
Allah Muhammad SAW pun diperintahkan agar berusaha dan berdoa agar selalu
ditambah pengetahuannya (QS Yusuf : 72).
Hal
ini dapat menjadi pemicu manusia untuk terus mengembangkan teknologi dengan
memanfaatkan anugerah Allah yang dilimpahkan kepadanya. Karena itu, laju IPTEK
memang tidak dapat dibendung, hanya saja mabusia dapat berusaha mengarahkan
diri agar tidak diperturutkan nafsunya untuk mengumpulkan harta dan IPTEK yang
dapat membahayakan dirinya dan yang lainnya.
2.1.
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di jaman Islam
Islam pernah berjaya di bidang IPTEK sekitar abad VIII sampai
dengan abad XIII. Tradisi keilmuan umat Islam dipelopori oleh Al-Kindi (filosof
penggerak dan pengembang ilmu pengetahuan) yang mengatakan bahwa Islam itu
dapat memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi dari manapun sumbernya, asalkan
tidak bertenangan dengan akidah dan syariat. Hal ini sejalan dengan hadits nabi
yang menyuruh umatnya berlayar sampai ke negeri China untuk memperoleh ilmu
pengetahuan. Padahal China adalah negara non muslim. Menurut Harun Nasution,
pemikiran rasional berkembang pada jaman Islam (650-1250 M). Pemikiran ini
dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti
yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadits. Persepsi ini bertemu dengan persepsi
yang sama dari Yunani melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di
kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia Islam Zaman Klasik, seperti
Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syiria), dan Bactra (Persia).
W. Montgomery Watt menambahkan lebih rinci bahwa ketika Irak, Syiria, dan Mesir
diduduki oleh orang Arab pada abad ketujuh, ilmu pengetahuan dan filsafat
Yunani dikembangkan di berbagai pusat belajar. Terdapat sebuah sekolah terkenal
di Alexandria, Mesir, tetapi kemudian dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan
kemudian pada sekitar tahun 900 M ke Baghdad. Maka para khalifah dan para
pemimpin kaum Muslim lainnya menyadari apa yang harus dipelajari dari ilmu
pengetahuan Yunani. Mereka mengagendakan agar menerjemahkan sejumlah buku
penting dapat diterjemahkan. Beberapa terjemahan sudah mulai dikerjakan pada
abad kedelapan. Penerjemahan secara serius baru dimulai pada masa pemerintahan
al-Ma’mūn (813-833 M). Dia mendirikan Bayt al-Ḥikmah, sebuah lembaga khusus
penerjemahan. Sejak saat itu dan seterusnya, terdapat banjir penerjemahan
besar-besaran. Penerjemahan terus berlangsung sepanjang abad kesembilan dan
sebagian besar abad kesepuluh.
2.2.
Masa kejayaan dan kemuduran IPTEK di kalangan Islam
Dari
buku “Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah” yang ditulis oleh M. Natsir Arsyad,
diperoleh beberapa informasi tentang nama-nama ilmuwan Islam yang mengharumkan
namanya. Diantaranya adalah Al-Khawārizmī (Algorismus atau Alghoarismus)
merupakan tokoh penting dalam bidang matematika dan astronomi. Istilah teknis
algorisme diambil dari namanya. Dia memberi landasan untuk aljabar. Istilah
“algebra” diambil dari judul karyanya. Karya-karyanya adalah rintisan pertama
dalam bidang aritmatika yang menggunakan cara penulisan desimal seperti yang
ada dewasa ini, yakni angka-angka Arab. Al-Khawārizmī dan para penerusnya
menghasilkan metode-metode untuk menjalankan operasi-operasi matematika yang
secara aritmatis mengandung berbagai kerumitan, misalnya mendapatkan akar
kuadrat dari satu angka. Di antara ahli matematika yang karyanya telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin adalah al-Nayrīzī atau Anaritius (w. 922 M)
dan Ibn al-Haytham atau Alhazen (w. 1039 M). Ibn al-Haytham menentang teori
Eucleides dan Ptolemeus yang menyatakan bahwa sinar visual memancar dari mata
ke obyeknya, dan mempertahankan pandangan kebalikannya bahwa cahayalah yang
memancar dari obyek ke mata. Di bidang astronomi, al-Battānī (Albategnius)
menghasilkan table-tabel astronomi yang luar biasa akuratnya pada sekitar tahun
900 M. Ketepatan observasi-observasinya tentang gerhana telah digunakan untuk
tujuan-tujuan perbandingan sampai tahun 1749 M. Selain al-Battānī, ada Jābir
ibn Aflaḥ (Geber) dan al-Biṭrūjī (Alpetragius). Jābir ibn Aflaḥ dikenal karena
karyanya di bidang trigonometri sperik. Di bidang astronomi dan matematika, ada
juga Maslamah al-Majrīṭī (w. 1007 M), Ibn al-Samḥ, dan Ibn al-Ṣaffār. Ibn Abī
al-Rijāl (Abenragel) di bidang astrologi.
Dalam
bidang kedokteran ada Abū Bakar Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī atau Rhazes
(250-313 H/864-925 M atau 320 H/932 M) , Ibn Sīnā atau Avicenna (w. 1037 M),
Ibn Rushd atau Averroes (1126-1198 M), Abū al-Qāsim al-Zahrāwī (Abulcasis), dan
Ibn Ẓuhr atau Avenzoar (w. 1161 M). Al-Ḥāwī karya al-Rāzī merupakan sebuah
ensiklopedi mengenai seluruh perkembangan ilmu kedokteran sampai masanya. Untuk
setiap penyakit dia menyertakan pandangan-pandangan dari para pengarang Yunani,
Syiria, India, Persia, dan Arab, dan kemudian menambah catatan hasil observasi
klinisnya sendiri dan menyatakan pendapat finalnya. Buku Canon of
Medicine karya Ibnu Sīnā sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
pada abad ke-12 M dan terus mendominasi pengajaran kedokteran di Eropa
setidak-setidaknya sampai akhir abad ke-16 M dan seterusnya. Tulisan Abū
al-Qāsim al-Zahrāwī tentang pembedahan (operasi) dan alat-alatnya merupakan
sumbangan yang berharga dalam bidang kedokteran.
Dalam bidang kimia ada Jābir ibn Ḥayyān (Geber) dan al-Bīrūnī (362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya Jābir ibn Ḥayyān memaparkan metode-metode pengolahan berbagai zat kimia maupun metode pemurniannya. Sebagian besar kata untuk menunjukkan zat dan bejana-bejana kimia yang belakangan menjadi bahasa orang-orang Eropa berasal dari karya-karyanya. Sementara itu, al-Bīrūnī mengukur sendiri gaya berat khusus dari beberapa zat yang mencapai ketepatan tinggi. Tetapi dari tahun ke tahun para ilmuwan muslim yang muncul semakin sedikit, salah satunya dari Negara Indonesia adalah Prof. Dr.B.J.Habibie dalam bidang kedirgantaraan.
Disamping dari tahun ke tahun ilmuwan muslim yang muncul sedikit, menurut Prof. Dr. Abdus Salam dalam bukunya “Sains dan Dunia Islam” yang diterjemahkan oleh Prof. Dr. Achmad Baiquni yang mengatakan : “Pada hemat saya, matinya kegiatan sains di persemakmuran Islam lebih banyak disebabkan faktor-faktor internal”. Ibnu Khaldun seorang tokoh sejarahwan sosial mengatakan : “Kita mendengar baru-baru ini, bahwa di tanah bangsa Franka dan di pesisir Timur Tengah sedang ditumbuhkan ilmu-ilmu filsafat dengan giat”. Atas perkataan Ibnu Khaldun di atas, Prof. Abdus Salam mengatakan : “Ibnu Khaldun tidak memperlihatkan sikap ingin tahu atau menyesal, justru sikap acuh yang hampir mendekati permusuhan”. Dari ungkapan Prof. Abdus Salam tersebut, sejak saat itu telah muncul dikotomi antara ayat-ayat kitabiyyah dan ayat-ayat khauniyyah dikalangan muslim. Jadi timbul persepsi bahwa Islam hanya berbicara tentang ilmu-ilmu sesuai dengan Al-Qur’an, tetapi tanpa mempelajari dan mengembangkan ilmu-ilmu yang ada di Al-Qur’an dengan melihat fenomena-fenomena alam semesta. Sehingga itu merupakan salah satu faktor kemunduran ilmu pengetahuan di kalangan Islam.
Dalam bidang kimia ada Jābir ibn Ḥayyān (Geber) dan al-Bīrūnī (362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya Jābir ibn Ḥayyān memaparkan metode-metode pengolahan berbagai zat kimia maupun metode pemurniannya. Sebagian besar kata untuk menunjukkan zat dan bejana-bejana kimia yang belakangan menjadi bahasa orang-orang Eropa berasal dari karya-karyanya. Sementara itu, al-Bīrūnī mengukur sendiri gaya berat khusus dari beberapa zat yang mencapai ketepatan tinggi. Tetapi dari tahun ke tahun para ilmuwan muslim yang muncul semakin sedikit, salah satunya dari Negara Indonesia adalah Prof. Dr.B.J.Habibie dalam bidang kedirgantaraan.
Disamping dari tahun ke tahun ilmuwan muslim yang muncul sedikit, menurut Prof. Dr. Abdus Salam dalam bukunya “Sains dan Dunia Islam” yang diterjemahkan oleh Prof. Dr. Achmad Baiquni yang mengatakan : “Pada hemat saya, matinya kegiatan sains di persemakmuran Islam lebih banyak disebabkan faktor-faktor internal”. Ibnu Khaldun seorang tokoh sejarahwan sosial mengatakan : “Kita mendengar baru-baru ini, bahwa di tanah bangsa Franka dan di pesisir Timur Tengah sedang ditumbuhkan ilmu-ilmu filsafat dengan giat”. Atas perkataan Ibnu Khaldun di atas, Prof. Abdus Salam mengatakan : “Ibnu Khaldun tidak memperlihatkan sikap ingin tahu atau menyesal, justru sikap acuh yang hampir mendekati permusuhan”. Dari ungkapan Prof. Abdus Salam tersebut, sejak saat itu telah muncul dikotomi antara ayat-ayat kitabiyyah dan ayat-ayat khauniyyah dikalangan muslim. Jadi timbul persepsi bahwa Islam hanya berbicara tentang ilmu-ilmu sesuai dengan Al-Qur’an, tetapi tanpa mempelajari dan mengembangkan ilmu-ilmu yang ada di Al-Qur’an dengan melihat fenomena-fenomena alam semesta. Sehingga itu merupakan salah satu faktor kemunduran ilmu pengetahuan di kalangan Islam.
Kita
juga sering mendengar ungkapan cendekiawan Islam maupun ulama bahwa
penemuan-penemuan ilmiah yang mutakhir diungkap dari Al-Qur’an. Tetapi fakta
berbicara bahwa yang menemukan bukanlah orang Islam, tetapi orang-orang
baratlah yang menemukan. Kalangan Islam baru sadar bahwa prinsip ilmu itu ada
dalam Al-Qur’an setelah ilmu itu diketemukan oleh orang non Islam. Kenyataan
ini menunjukkan bahwa kalangan Islam senantiasa tertinggal dalam perkembangan
IPTEK dan terlambat dalam menafsirkan kebenaran ilmu itu dari Al-Qur’an.
Demikian
sekilas gambaran kemajuan dan kemunduran IPTEK di kalangan Islam, sehingga saat
ini ilmuwan di kalangan Islam sedikit memberikan sumbangsih pada pertumbuhan
dan kemajuan IPTEK secara keseluruhan.
Syarat
bangkitnya Ilmu Pegetahuan dan Teknologi (IPTEK) di kalangan Islam
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh kalangan Islam apabila berkehendak untuk membangkitkan kembali IPTEK di dunia Islam.
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh kalangan Islam apabila berkehendak untuk membangkitkan kembali IPTEK di dunia Islam.
Pertama, kita harus menyadari dan memahami kembali bahwa tugas
kekhalifahan tidak lain adalah memakmurkan bumi dan berupaya menciptakan
bayang-bayang syurga di bumi. Alat untuk mengemban tugas tersebut adalah IPTEK.
Kedua, kita harus mampu menangkap pesan-pesan yang terkandung dalam
wahyu yang pertama kali turun. Jika diperhatikan kata iqra’ (baca), maka kita
akan dapati bahwa tidak ada obyek khusus yang harus di baca, tetapi obyeknya
bersifat umum, meliputi segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut,
yaitu alam semesta, masyarakat dan manusia itu sendiri.
Ketiga, kalangan Islam harus menyadari dan memahami bahwa hampir
seperdelapan ayat-ayat Al-Qur’an sebenarnya kita ditegur, agar kalangan Islam
senantiasa mempelajari alam semesta, untuk berfikir dengan menggunakan
penalaran yang sebaik-baiknya, untuk menjadikan kegiatan ilmiah sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam.
Keempat, kita harus ingat sabda Nab Muhammad SAW : “ Sesungguhnya orang
yang berilmu adalah pewaris Nabi” , kalimat tersebut mempunyai dua sisi yang
merupakan satu kesatuan. Sisi pertama, memang orang berilmulah yang berhak
disebut sebagai pewaris Nabi, dan sisi kedua, orang-orang yang mewarisi akhlak
Nabilah yang layak disebut sebagai pewaris Nabi. Dengan demikian orang memiliki
ilmu dan berakhlakul karimah Nabi yang layak disebut pewaris Nabi dalam segala
bidang ilmu apapun yang ditekuninya.
Kelima, kita harus menyadari dan memahami bahwa
Al-Qur’an QS Az Zumar ayat 9 menekankan bahwa apakah sama
orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dengan orang-orang yang tidak
berpengetahuan. Ayat di atas merupakan sindiran untuk menyadarkan
kalangan Islam agar mempunyai kesadaran ilmiah.
Keenam, Para penguasa (pengambil keputusan)
hendaknya menyadari dan memahami bahwa kedudukan mereka sangat startegis dalam
menumbuhkan suasan kehidupan ilmiah, karena tumbuh suburnya IPTEK ergantung
pada kebijakan-kebijakan yang dilahirkan.
Ketujuh, para konglongmerat muslim
seharusnya bersatu dalam suatu wadah untuk membiayai proyek atau
program-program yang berkenaan dengan pengembangan IPTEK.
Kedelapan, para pengasuh pondok pesantren mulai membuka diri pada
IPTEK, dengan memasukkan IPTEK pada kurikulum dan kegiatannya, tanpa menggeser
agama.
Dari delapan syarat di atas, merupakan faktor penting bagi kebangkitan IPTEK di kalangan Islam.[3]
Dari delapan syarat di atas, merupakan faktor penting bagi kebangkitan IPTEK di kalangan Islam.[3]